Setiap nama merupakan doa, begitulah kata orangtua. Dalam setiap nama, tersimpan harapan supaya kelak seorang anak tumbuh dengan sebaik-baiknya. Jadi, wajar saja kalau ada calon orangtua yang rela menghabiskan puluhan malam demi merangkai nama bagi sang buah hati yang masih dikandungnya. Apalagi di zaman informasi serba terbuka seperti sekarang, internet sering jadi rujukan bagi banyak orangtua dalam mencari nama untuk anak.
Tapi sadarkah Moms kalau tren pemberian nama ini terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu? Zaman kakek nenek atau ayah ibu kita lahir, nama yang populer umumnya cuma terdiri dari 1 atau 2 kata: Supriyanto, Bambang Suseno, Susi Susanti, Ngatiyem, dan kawan-kawannya. Namun sekarang, banyak pasangan milenial yang merasa kurang kalau cuma satu-dua kata. Minimal 3 lah, itu pun kata-katanya sulit banget diingat dan dieja karena sering pakai kata kebarat-baratan.
Bahkan baru-baru ini, DPRD Karanganyar mengeluarkan wacana bakal melarang nama anak kebule-bulean lo seperti dilansir Detik.com. Alasannya adalah untuk melestarikan budaya dan kearifan lokal. Meski wacana ini dianggap berlebihan oleh Komisi II DPR, tapi tidak ada salahnya kita bahas perkembangan tren nama bayi dari waktu ke waktu. Soalnya bedanya drastis banget!
Tahun 1930-1950an: Para orangtua di tahun ini menamai anaknya dengan ejaan yang simpel. Kembar sama anak tetangga nggak masalah, yang penting mudah diingat.
Dikutip dari Good News From Indonesia (GNFI), nama-nama populer di tahun ini seperti Wati, Paiman, Joko, Sugeng, atau Ani. Biasanya memang cuma terdiri dari 1 kata saja. Ada sih yang 2 kata, tapi itupun suku katanya singkat, padat, jelas. Misalnya: Sugeng Santoso, Sri Wahyuni, atau Sulistyo Wati, dan lain-lain. Pertimbangan orang zaman dulu dalam menamai anaknya sih, yang penting mudah diingat. Kembaran nama sama anak tetangga pun tidak jadi masalah. Paling yang membedakan ya cuma nama bapaknya, “Oh, Yono anaknya Pak Sutikno” dan “Oh, Yono anaknya Pak Paijan”. Bahkan nggak sedikit orangtua zaman dulu yang menamai anaknya dengan benda yang pertama kali dilihat waktu anaknya lahir. Ada lo yang memberi nama anaknya ‘Cikrak’ alias pengki dalam Bahasa Indonesia!
Tahun 1960-1970an: Memasuki tahun ini, mulai banyak orangtua yang menamai anaknya pakai 3 kata. Trennya juga sudah mulai ‘bernafaskan’ barat dan Islam, atau gabungan keduanya.
Nama-nama seperti Willy, Andi, atau Rosalina mulai muncul di tahun ini. Mungkin ada pengaruhnya juga sama budaya-budaya barat seperti film atau musik yang mulai masuk ke Indonesia. Jadi banyak orangtua terinspirasi memberi nama anaknya pakai kata kebarat-baratan. Nama-nama Islam juga diketahui mulai banyak diminati, seperti Muhammad, Abdullah, Annisa, Aisyah, dan lain-lain. Di tahun ini mulai ada juga nama anak yang terdiri dari 3 kata.
Tahun 1980-1990an: Tren di tahun ini mulai berubah lagi, terlebih setelah era informasi mulai melanda negeri ini, dimana TV dan radio banyak jadi primadona
Tanpa sadar, orangtua yang melahirkan anak di rentang tahun ini mulai banyak terinspirasi dari TV atau radio yang memang jadi primadona saat itu. Nama-nama yang sempat populer di tahun 50-an sudah mulai ditinggalkan dan dianggap jadul. Anak banyak dinamai pakai kosa kata baru yang kedengarannya lebih modern, seperti Mega, Rizal, Aditya, atau Amalia. Huruf-huruf yang hampir tidak pernah muncul di nama-nama jadul, mulai muncul –z, y, q.
Tahun 2000an ke atas: Nama anak di tahun ini makin beragam, makin sulit diingat, bahkan sulit dieja. Orangtua makin melek teknologi dan menjadikan internet sebagai sumber informasi utama
Di era internet dan media sosial seperti sekarang, orang jadi makin ketergantungan sama teknologi. Sampai mau memberi nama anak aja harus googling dulu di internet. Uniknya, banyak banget orangtua yang menganggap makin sulit dieja dan diingat, akan makin keren nama anaknya. Mereka biasanya menggabungkan kosa kata asing dengan ejaan yang tak biasa. Jadi jangan kaget kalau gabungan huruf ee, rr, zz, yy, gh, sh, makin banyak muncul di nama bayi-bayi milenial. Sudah ejaannya sulit, jumlah katanya juga panjang banget. Malah ada yang 1 nama aja sampai lebih dari 5 kata.
Memberi nama anak memang hak setiap orangtua. Tapi alangkah lebih baiknya kalau mereka juga mempertimbangkan soal pencatatan administrasi si anak di masa depan. Bakal repot kalau nama di ijazah, akta, atau dokumen penting lainnya beda-beda hanya karena si petugas salah menulis atau mengeja.
Source: hipwee.com